Tidak banyak yang mengenali apabila di kawasan Nusa Tenggara Timur, spesialnya Kabupaten Ende, Pulau Flores ada aksara asli wilayah tersebut yang diucap dengan Lota. Ada pula pengguna terbanyak aksara Lota di masa kemudian ialah warga etnis Ende yang beragama Islam. Mereka tinggal di Kecamatan Ende, Ende Selatan, Ende Utara serta Nangapanda.
Aksara Lota ialah salah satu kebudayaan khas Nusantara turunan langsung dari aksara Bugis. Orang Bugis yang menetap di Ende bawa dan peradaban serta kebudayaannya, tercantum aksaranya. Sejarah mencatat, aksara Lota masuk ke Ende dekat abad ke- 16, semasa Pemerintahan Raja Goa XIV, I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin( 1593- 1639). Dalam proses menyesuaikan diri, aksara Bugis di Ende tumbuh cocok sistem Bahasa Ende serta jadi aksara Lota.
Lota berasal dari kata lontar. Pada mulanya aksara Ende ditulis pada daun lontar, setelah itu dalam perkembangannya ditulis di kertas. Bahasa Ende merupakan bahasa bersuku kata terbuka. Kata lontar berganti jadi lota. Bunyi konsonan n pada lon, serta r pada tar lenyap.
Ada 8 aksara Lota Ende yang tidak terdapat dalam aksara Bugis, ialah bha, dha, fa, gha, mba, nda, ngga serta rha. Kebalikannya terdapat 6 aksara Bugis yang tidak ada dalam aksara Lota Ende, ialah ca, ngka, mpa, nra, nyca serta nya.
Aksara Lota Ende telah diteliti beberapa ahli linguistik serta filologi. Antara lain S Ross yang tahun 1872 menulis novel Controleer Onder Afdeelingen Endeh. Dia mempelajari sederetan aksara Ende yang dilansir dalam TBG XXIV, setelah itu dibukukan oleh Suchtelen tahun 1921 dalam Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores.
Aksara Lota Ende pula diteliti Jan Djou Gadi Ga’ a tahun 1959, 1978, 1984, serta Maria Matildis Banda mempelajari tahun 1993 dengan sokongan dana dari Ford Foundation. Bagi Maria, tradisi menulis aksara Lota terabaikan sehabis aksara latin diketahui. Tidak hanya itu orang tua lebih mementingkan pengetahuan membaca serta menulis aksara Arab daripada aksara Ende. Profesor. Stephanus Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik dari Universitas Gadjah Mada di Ende melaporkan kalau aksara Ende tercantum tipe silabik( syllabic writing, syllabibography, syllable writing) yang menggambarkan suku- suku kata, mirip dengan hiragana Jepang. Jadi bukan alphabet semacam huruf latin.
Djawanai menganjurkan supaya tradisi penyusunan aksara Lota dibesarkan lewat jalan pembelajaran. Strateginya menjadikan aksara Lota selaku salah satu pelajaran muatan lokal. Anjuran tersebut pantas jadi atensi. Bila proses re- genarisi terputus, dapat jadi generasi masa depan NTT tinggal mengenang aksara Lota selaku sejarah.